Riyadhus
Shalihin –163
Bab 27
Mengagungkan Kehormatan-Kehormatan
Kaum Muslimin Dan
Uraian Tentang Hak-hak Mereka
Serta Kasih-sayang
Dan Belaskasihan Kepada Mereka
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan barangsiapa
yang mengagungkan peraturan suci dari Allah, maka itulah yang lebih baik baginya
di sisi Tuhannya." (al-Haj: 30)
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Dan barangsiapa yang mengagungkan tanda-tanda suci - yakni agama Allah, maka sesungguhnya
perbuatan sedemikian itu adalah karena ketaqwaan hati." (al-Haj: 32)
Lagi Allah Ta'ala berfirman:
Dan tundukkantah sayapmu - bersikap sopan santunlah -dap
kaum mu'minin" (al-Hijr: 88)
Allah Ta'ala juga berfirman:
"Barangsiapa yang membunuh seseorang manusia bukan
karena sebagai hukuman membunuh orang atau dengan sebab membuat kerusakan di
bumi - merampok dan lain-lain, maka ia seolah-olah membunuh manusia seluruhnya
dan barangsiapa memelihara
kehidupan seseorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan
manusia seluruhnya." (al-Maidah: 32)
223. Dari Abu Musa r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Seorang mu'min terhadap mu'min yang lain itu adalah sebagai
bangunan yang sebagiannya mengokohkan kepada bagian yang lainnya," dan
beliau s.a.w. menjalinkan antara jari-jarinya." (Muttafaq'alaih)
Keterangan:
Dalam menguraikan Hadis di atas. Imam al-Qurthubi berkata sebagai
berikut: "Apa yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. itu adalah sebagai
suatu tamsil perumpamaan yang isi kandungannya adalah menganjurkan dengan
sekeras-kerasnya agar seorang mu'min itu selalu memberikan pertolongan kepada
sesama mu'minnya, baik pertolongan apapun sifatnya (asal bukan yang ditujukan
untuk sesuatu kemungkaran), Ini adalah suatu perintah yang dikokohkan yang
tidak boleh tidak, pasti kita laksanakan. Perumpamaan yang dimaksudkan itu
adalah sebagai suatu bangunan yang tidak mungkin sempurna dan tidak akan
berhasil dapat dimanfaatkan atau digunakan, melainkan wajiblah yang sebagian
dari bangunan itu mengokohkan dan erat-erat saling pegangmemegang dengan yang
bagian lain. Jikalau tidak demikian, maka bagian-bagian dari bangunan itu pasti
berantakan sendiri-sendiri dan musnahlah apa yang dengan susah payah didirikan.
Begitulah semestinya kaum Muslimin dan mu'minin antara yang seorang dengan yang
lain, antara yang sekelompok dengan yang lain, antara yang satu bangsa dengan
yang lain. Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, baik dalam urusan
keduniaan, keagamaan dan keakhiratan, melainkan dengan saling tolong-menolong,
bantu-membantu serta kokohmengokohkan. Manakala hal-hal tersebut di atas tidak
dilaksanakan baik-baik, maka jangan diharapkan munculnya keunggulan dan
kemenangan, bahkan sebaliknya yang akan terjadi, yakni kelemahan seluruh ummat
Islam, tidak dapat mencapai kemaslahatan yang sesempurna-sempurnanya, tidak
kuasa pula melawan musuh-musuhnya ataupun menolak bahaya apapun yang menimpa
tubuh kaum Muslimin secara keseluruhan. Semua itu mengakibatkan tidak
sempurnanya ketertiban dalam urusan kehidupan duniawiyah, juga urusan diniyah
(keagamaan) dan ukhrawiyah. Malahan yang pasti akan ditemui ialah kemusnahan,
malapetaka yang bertubi-tubi serta bencana yang tiada habis-habisnya.
224. Dari Abu Musa r.a. juga, katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Barangsiapa yang berjalan di sesuatu tempat dari masjid-masjid
kita atau pasar-pasar kita sedang ia membawa anak-anak panah, maka hendaklah
memegang atau menutupi ujung-ujungnya dengan tapak tangannya, sebab dikuatirkan
akan mengenai seseorang dari kaum Muslimin dengan sesuatu yang dibawanya
tadi." (Muttafaq 'alaih)
225. Dari an-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma, katanya:
"Rasulullah s.a.w. bersabda: "Perumpamaan kaum Mu'minin dalam hal
saling sayang-menyayangi, saling kasihmengasrhi
dan saling iba-mengibai itu adalah bagaikan sesosok tubuh. Jikalau
salah satu anggota dari tubuh itu ada yang merasa sakit, maka tertarik pula
seluruh tubuh - karena ikut merasakan sakitnya - dengan berjaga - tidak tidur -
serta merasa panas." (Muttafaq 'alaih)
226. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Nabi s.a.w. mencium
al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma dan di dekat beliau s.a.w. itu ada seorang
bernama al-Aqra' bin Habis, lalu al-Aqra'berkata: "Saya ini mempunyai
sepuluh orang anak, belum pernah saya mencium seseorangpun dari mereka
itu." Rasulullah s.a.w. lalu memperhatikan orang itu, kemudian bersabda: "Barangsiapa
yang tidak menaruh belas kasihan - kepada sesamanya, maka tidak drbelas
kasihani - oleh Allah." (Muttafaq 'alaih)
227. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Ada beberapa
orang dari kalangan A'rab - Arab pedalaman - datang kepada Rasulullah s.a.w.,
lalu mereka berkata: "Adakah Tuan suka mencium anak-anak Tuan?"
Beliau s.a.w. menjawab: "Ya." Mereka berkata: "Tetapi kita semua
ini, demi Allah tidak pernah mencium anak-anak itu." Kemudian Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Adakah saya dapat mencegah sekiranya Allah telah
mencabut sifat belas kasihan itu dari hatimu semua." (Muttafaq 'alaih)
228. Dari Jarir bin Abdullah, r.a., katanya: "Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang tidak menaruh belas-kasihan kepada
sesama manusia, maka Allah juga tidak menaruh belas-kasihan padanya."
(Muttafaq 'alaih)
229. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Jikalau seseorang dari engkau semua bersembahyang menjadi imamnya orang banyak,
maka hendaklah meringankannya, sebabdi kalangan para makmum itu ada orang lemah,
ada orang sakit dan ada pula yang berusia tua. Tetapi jikalau bersembahyang sendirian
-munfarid, maka hendaklah memperpanjangkan shalatnya itu sekehendak hatinya."
(Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: "Di kalangan makmum itu
juga ada orang yang mempunyai keperluan - yang hendak segera
diselesaikan."
230. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Sesungguhnya
saja Rasulullah s.a.w. itu niscaya meninggalkan - tidak melakukan -suatu
amalan,sedangkan beliau amat suka mengerjakan amalan itu dan ditinggalkannya
tadi adalah karena takut kalau orang-orang akan mengamalkan itu, sehingga akan
menyebabkan diwajibkannya amalan tersebut atas mereka." (Muttafaq 'alaih)
231. Dari Aisyah radhiallahu 'anha juga, katanya: "Nabi s.a.w.
melarang para sahabat melakukan puasa wishal - tidak berbuka dalam malam hari
puasa, sehingga dua hari puasa dijadikan satu dan terus berpuasa saja. Larangan
ini adalah karena belas-kasihan kepada mereka. Para sahabat bertanya:
"Sesungguhnya Tuan sendiri suka berpuasa wishal." Beliau s.a.w.
bersabda: "Sesungguhnya saya ini tidaklah seperti keadaanmu semua, karena sesungguhnya
saya ini diberi makan serta minum oleh Tuhanku." (Muttafaq 'alaih) Artinya
ialah: Saya itu diberi kekuatan seperti orangyang makan dan minum.
232. Dari Abu Qatadah yaitu al-Harits bin Rib'i r.a. katanya: "Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya saya berdiri untuk bersembahyang dan saya
bermaksud hendak memperpanjangkannya, kemudian saya mendengar tangisnya seorang
anak kecil, lalu saya peringankan shalatku itu karena saya tidak suka membuat
kesukaran kepada ibunya." (Riwayat Bukhari)
233. Dari Jundub bin Abdullah r.a., katanya: "Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang bersembahyang Subuh, maka ia adalah di
dalam tanggungan Allah, maka itu janganlah sampai Allah itu menuntut kepadamu
semua dengan sesuatu dari tanggunganNya - maksudnya jangan sampai mengerjakan
kemaksiatan, jangan sampai meninggalkan shalat Subuh, juga shalat-shalat fardhu
yang lain, apalagi kalau ditambah dengan mengerjakan berbagai kemungkaran,
kemaksiatan dan lain-lain lagi, 23
sebab kalau demikian, maka lenyaplah ikatan
janji untuk memberikan tanggungan keamanan dan lainlain antara engkau dengan
Tuhanmu itu." Sebab sesungguhnya barangsiapa yang dituntut oleh Allah dari
sesuatu
tanggunganNya, tentu akan dicapainya - yakni tidak mungkin
terlepas - kemudian Allah akan melemparkannya atas mukanya dalam neraka
Jahanam." (Riwayat Muslim)
Keterangan:
23 Jadi yang sudah bersembahyang Subuh dan dengan sendirinya mengerjakan
shalat fardhu lain-lain yang diwajibkan yaitu dengan Subuhnya sekali berjumlah
lima waktu itu, jangan sampai berbual sesuatu keburukan
yang berupa apapun. Sebabnya ialah dengan berbuat keburukan yang
bagaimanapun macamnya adalah sebagai suatu penghinaan pada shalatnya sendiri
yang semestinya dapat mencegah segala kejahatan dan kemungkaran. Oleh sebab itu
besar sekali siksaan Allah padanya, jika orang yang sudah bersembahyang itu masih
juga berani melakukan hal-hal yang berdosa itu.
Uraian yang tertera di atas itu adalah penafsiran menurut Imam
at-Thayyibi. Ada pendapat lain dari sebagian para alim ulama menyatakan bahwa
maksud Hadis itu ialah: Jangan sampai kamu semua mengerjakan sesuatu yang
sifatnya sebagai gangguan kepada orang yang selalu mengerjakan shalat subuh itu
dan dengan sendirinya juga shalatshalat
fardhu yang lain, sekalipun gangguan itu tampaknya remeh atau
tidak berarti. Dalam Hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim ialah
bahwa yang dikerjakan itu adalah shalat Subuh dengan berjamaah.Dari kedua macam
pendapat di atas, kita dapat menarik kesimpulan, iaitu:
(a) Seruan keras kepada kita sekalian kaum Muslimin, agar jangan
sekali-kali kita meninggalkan atau melalaikan shalat lima waktu, agar kita
senantiasa memperoleh rahmat Allah Ta'ala dan tiada seorangpun yang berani
mengganggu kita, karena Allah telah memberikan jaminan sedemikian itu kepada
kita.
(b) Kita yang sudah mengenal kepada seseorang yang keadaan dan
sifatnya sebagaimana di atas, jangan sekali-kali kita ganggu, baik dengan lisan
atau perbuatan, dengan sengaja atau tidak, juga secara senda-gurau atau tidak.
Ringkasnya orang tersebut wajib kita hormati, kita muliakan dan kita ikut
melindungi keselamatannya dari perbuatan orang lain yang hendak mengganggunya,
sebab ia telah berada dalam jaminan Allah Ta'ala dan menjadi tanggunganNya,
untuk mendapatkan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan.
(c) Orang yang berani mengganggu orang sebagaimana di atas itu,
berarti menghina pada jaminan atau dzimmah Allah Ta'ala yang telah diberikan
kepadanya dan oleh sebab itu maka patutlah apabila dilemparkan saja nanti di
akhirat dalam neraka dalam keadaan tertelungkup yakni mukanya di bawah. Betapa
besar meresapnya Hadis di atas itu dalam kalbu kaum Muslimin, dapatlah kami
kutipkan sebagian keterangan yang ditulis oleh Imam as-Sya'rani dalam kitab al-Haudh, demikian
intisarinya: "Di zaman Bani Umayyah memerintah kaum Muslimin, yaitu
sepeninggalnya Khulafa' Rasyidin, ada seorang gubernur yang diangkat oleh
mereka untuk memerintahdan mengamankan daerah Kufah dan sekitarnya. Gubernur
tersebut bernama al-Hajjaj yang terkenal kejam, zalim dan bengis. Banyak
alim-ulama yang ia bunuh secara teraniaya atau perintahnya. Namun demikian,
manakala ada orang yang dicurigai hendak melawan atau menggulingkan kekuasaan
dinasti Umayyah dan orang itu sudah menghadap di mukanya sesudah dipanggil,
biasanya al-Hajjaj bertanya kepadanya: "Apakah anda tadi bersembahyang
Subuh?" Jika dijawab: "Ya," maka orang yang hendak dipenggal
lehernya itu dilepaskan kembali. Al-Hajjaj amat takut sekali terlaknat atau
mendapatkan azab Allah, sebab ia tentunya juga pernah membaca atau mendengar
Hadis sebagaimana yang tersebut di atas itu."Kufah kini masuk Republik
Irak.
234. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya Rasulullah
s.a.w. bersabda: "Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim lainnya.
Janganlah ia menganiayanya, jangan pula menyerahkannya kepada musuhnya. "Barangsiapa
memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam
hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang Muslim dari
sesuatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari sesuatu kesusahan
dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi cela seseorang
Muslim, maka Allah akan menutupi cela orang itu pada hari kiamat."
(Muttafaq'alaih)
235. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim yang lain.
Janganlah ia berkhianat kepada saudaranya itu dan jangan pula mendustainya,
juga jangan menghinakannya – juga enggan memberikan pertolongan padanya bila
diperlukan. Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya itu adalah haram
kehormatannya - tidak boleh dinodai, haram hartanya - tidak boleh dirampas -
dan haram darahnya - tidak boleh dibunuh tanpa dasar kebenaran. Ketaqwaan itu
di sini - dalam hati. Cukuplah seseorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia
menghinakan saudaranya yang sama Muslimnya."Diriwayatkan oleh Imam
Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
236. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Janganlah engkau semua hasad-menghasad, jangan pula
kicuh-mengicuh, jangan benci-membenci, jangan seteru-menyeteru dan jangan pula
setengah dari engkau semua itu menjual atas jualannya orang lain. Dan jadilah
hamba Allah sebagai saudara. Seorang Muslim itu adalah saudara orang Muslim
yang lain. Janganlah ia menganiaya saudaranya, jangan merendahkannya dan jangan
menghinakannya – enggan memberikan pertolongan padanya. Ketaqwaan itu ada di
sini - dan beliau menunjuk ke arah dadanya sampar tiga kali. Cukuplah seseorang
itu menjadi orang jelek, jikalau ia menghinakan saudaranya sesama Muslimnya.
Setiap orang Muslim terhadap orang Muslim yang lain itu haram darahnya,
hartanya dan kehormatannya." (Riwayat Muslim) Annaj-syu atau
mengicuh ialah apabila seseorang itu menambah harga sesuatu barang dagangan
lebih dari yang diumumkan di pasar atau lain-lain sebagainya,sedangkan ia tidak
ada keinginan hendak membelinya. Tetapi ia berbuat demikian itu semata-mata
akan menipu orang lain saja. Perbuatan semacam ini haram hukumnya. Tadabbur ialah
jikalau seseorang tidak menghiraukan orang lain, meninggalkan berbicara
dengannya dan menganggap orang itu sebagai benda yang ada di belakang punggung
atau duburnya.
Keterangan:
Ada beberapa kelakuan buruk yang diperhatikan oleh Rasulullah
s.a.w. agar kita semua menjauhinya. Di antaranya ialah:
1. Hasad, dengki atau irihati.
2. Mengicuh ialah mengatakan pada seseorang dengan harga tinggi
atau mengatakan bahwa ia telah menawar sekian, tetapi belum diberikan. Padahal
sebenarnya tidak dan berbuat sedemikian itu perlu menjerumuskan orang lain agar
suka membeli dengan harga tinggi itu dan ia sendiri akan menerima sebagian
keuntungan dari penjualannya itu nanti.
3. Benci-membenci.
4. Seteru-menyeteru.
5. Menjual atas jualannya orang lain yakni seperti seorang
pedagang yang berkata kepada seorang pembeli: "Jangan jadi beli di sana
dan saya mempunyai barang yang mutunya lebih baik dan harganya lebih murah.
Belilah kepada saya saja." Demikian pula kalau ada seseorang yang berkata
kepada seorang pedagang: "jangan jadi dijual pada si A itu dan saya suka
membeli itu dengan harga yang lebih tinggi dari penawarannya."Semua itu
dilarang oleh beliau s.a.w. Tidak lain kepentingannya agar kita sesame makhluk
Allah ini dapat hidup rukun dan damai. Hal ini bukan hanya untuk digunakan antara
seseorang menghadapi orang lain, tetapi juga antara golongan dengan golongan lainnya,
juga antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kalau saja ini dilaksanakan,
rasanya tidak perlu lagi membicarakan bagaimana perdamaian dunia dapat
diciptakan, sebab masing-masing dapat menghormati yang fainnya. Jikalau ajaran
di atas itu harus digunakan untuk umum, tanpa pandang bulu, kebangsaan, agama,
faham peribadi dan lain-lain maka yang di bawah ini ditekankan oleh
Rasulullah s.a.w., terutama sekali antara kita sesama ummat Islam,
yaitu seorang Muslim wajiblah menunjukkan sikap persaudaraan terhadap Muslim
lainnya tanpa memandang golongannya, bermazhab atau tidaknya, kepartaiannya dan
lain-lain lagi. Maka itu kita semua diperintah oleh Rasulullah s.a.w. jangan
sampai melakukan:
(a) Menganiaya, lebih-lebih merampas haknya.
(b) Membiarkan kawannya, padahal memerlukan pertolongan, nasihat
dan lain-lain sebagainya.
(c) Mendustai.
(d) Menghina.
Singkatnya semua itu wajib didasarkan kepada taqwallah yang
ditunjukkan oleh beliau s.a.w. bahwa letak taqwa itu bukan di bibir, bukan
dengan pernyataan terbuka atau tertulis, bukan dengan ucapan yang kosong
melompong, tetapi letaknya ialah di dalam hati lalu dicetuskan dalam tindakan
yang nyata. Oleh sebab itu dianggap demikian pentingnya, sehingga beliau s.a.w.
mengucapkan taqwa tadi dengan menunjukkan letaknya yaitu di dalam dada atau
hati dan itu diulanginya sampai tiga kali berturut-turut. Akhirnya Rasulullah
s.a.w. menegaskan bahwa seseorang itu cukup disebut orang jahat kalau sampai
menghinakan sesama Muslimnya dengan cara apapun juga seperti perkataan, isyarat
tangan, cibiran bibir dan lain-lain ataupun dengan dalih atau alas an apapun. Juga
antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya itu sama sekali diharamkan mengalirkan
darahnya, merampas haknya atau merusak kehormatannya. Kalau saja ajaran agama
ini tidak dilaksanakan, mustahillah kalau ummat Islam akan dapat merebut
kejayaannya sebagaimana nenek moyangnya dahulu. Bukan mustahil lagi, tetapi
yakin akan dapat diperoleh. Ada satu hal yang perlu dimaklumi, sehubungan
dengan larangan yang berbunyi: "Jangan kamu semua menjual atas jualannya
orang lain": Pertanyaannya ialah: Apakah menjual cara lelang itu haram? Jual
lelang itu maksudnya ialah menunjukkan suatu benda lalu ditawarkan kepada orang
banyak. Seorang menawar lalu ada yang menambah dengan harga lebih tinggi, orang
lain lagi menambahnya pula. Demikian sampai tidak ada yang mengatasinya,
kemudian benda itu diberikan kepada orang yang menawar dengan harga tertinggi.
Hukum lelang itu dalam Islam diperbolehkan dan bukan haram, dengan berdasarkan
suatu Hadis yang mengisahkan perbuatan Rasulullah s.a.w. sendiri, yaitu: Suatu
ketika datanglah seorang yang sedang dalam kesukaran hidup kepada Nabi s.a.w.
untuk meminta sesuatu kepadanya, tetapi beliau s.a.w. menolaknya karena memang tidak
ada yang dapat diberikan padanya. Orang itu mengatakan bahwa ia masih mempunyai
dua benda yang dapat dijual, yaitu lapik pelana dan gelas minum. Keduanya
dibawa ke tempat Nabi s.a.w. lalu ditawarkan kepada sahabat-sahabatnya
demikian: "Siapakah yang suka membeli lapik kuda dan gelas ini?" Kemudian
ada seorang yang berkata: "Saya suka mengambil (membeli) kedua benda itu
dengan harga sedirham. Beliau s.a.w. lalu bersabda lagi: "Siapakah yang
suka menambah dengan sedirham?" Orang-orang sama berdiam diri. Lalu beliau
s.a.w. bertanya lagi seperti di atas. Selanjutnya ada seorang yang berkata:
"Saya suka mengambil (membeli) keduanya dengan harga dua dirham." Rasulullah
lalu bersabda: "Kedua benda ini milikmu." Jadi cara jual beli
lelangan bukannya termasuk larangan sebagaimana di atas. Maka hukumnya boleh
dilakukan.
237. Dari Anas r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidaklah
sempurna keimanan seseorang dari engkau semua itu, sehingga ia mencintai untuk
diterapkan kepada saudaranya sebagaimana ia mencintai kalau itu diterapkan
untuk dirinya sendiri." (Muttafaq'alaih)
238. Dari Anas r.a. juga, katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Tolonglah saudaramu itu, baik ia sebagai orang yang menganiaya
atau yang dianiaya." Ada seorang lelaki bertanya: "Ya Rasulullah,
saya dapat menolongnya jikalau ia memang dianiaya. Tetapi bagaimanakah pendapat
Tuan, jikalau ia sebagai orang yang menganiaya? Bagaimanakah cara saya menolongnya
itu?" Beliau s.a.w. menjawab: "Hendaklah ia engkau cegah atau engkau
larang dari perbuatan penganiayaannya itu, sebab demikian itulah cara
menolongnya." (Riwayat Bukhari)
239. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w.
bersabda:"Haknya seorang Muslim terhadap orang Muslim yang lain itu ada
lima perkara yaitu menjawab salam, meninjau yang sakit, mengikuti jenazahnya, mengabulkan
undangannya dan bertasymit kepada yang bersin - yakni kalau seseorang bersin
dan mengucapkan Alhamdulillah, maka yang mendengar hendaklah mentasymitkan -
mendoakan – dengan mengucapkan: Yarhamukalhh,
artinya: Semoga Allah merahmatimu, kemudian yang
bersin itu menjawab: Yahdikumullah wa yushtihu balakum, artinya: Semoga Allah memberi petunjuk padamu dan memperbaiki
hatimu." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat Muslim disebutkan demikian: "Hak
seorang Muslim terhadap orang Muslim lainnya itu ada enam perkara, yaitu jikalau
engkau bertemu dengannya, maka berilah salam kepadanya, jikalau ia mengundangmu,
maka kabulkanlah undangannya, jikalau ia meminta nasihat kepadamu, maka berilah
ia nasihat, jikalau ia bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillah, maka tasymitkanlah
ia, jikalau ia sakit, tinjaulah ia dan jikalau ia meninggal dunia, maka
ikutilah jenazahnya." (Riwayat Muslim)
240. Dari Abu Umarah, yaitu al-Bara' bin 'Azib radhiallahu
'anhuma, katanya:"Rasulullah s.a.w. menyuruh kita melakukan tujuh perkara
dan melarang kita tujuh perkara pula. Kita semua diperintah meninjau orang
sakit, mengikuti jenazah, mentasymitkan orang bersin, menuruti orang yang
bersumpah - misalnya seseorang berkata kepada kita: Demi Allah, hendaklah
engkau begini, maka orang yang diminta melakukannya itusupaya meluluskan
permintaannya, menolong orang yang dianiaya, mengabulkan undangan orang yang
mengundang, serta menyebarkan salam -kepada orang yang sudah dikenal atau yang belum
dikenal. Beliau s.a.w. melarang kita mengenakan cincin yakni bercincin emas –untuk
kaum lelaki, minum dengan wadah yang terbuat dari perak, hiasan-hiasan sutera
merah – ini kebiasaannya saja, jadi selain merah dilarang pula untuk kaum
lelaki, juga mengenakan baju
sutera campur katun, lagi pula mengenakan sutera istabraq - sutera
tebal - dan dibaj - umumnya sutera murni." (Muttafaq 'alaih) Dalam suatu riwayat disebutkan:
"Diperintahkan pula mengumumkan benda yang hilang." Ini ditambahkan dalam golongan
tujuh yang pertama yakni yang diperintahkan.Almayatsir,
dengan ya' mutsannat
24 di bawah
sebelumnya ada alifnya dan tsa'mutsallatsah
sesudahnya, adalah jamak dari kata maitsarah.
Artinya ialah sesuatu hiasan yang
dibuat dari sutera dan di isi dengan kapuk
ataupun lain-lainnya, lalu diletakkan di tempat kenaikan kuda atau tempat duduk di unta yang
di situlah pengendaranya duduk.Alqassiy
dengan fathah qafnya dan dikasrahkan sin
muhmalah 25 yang
disyaddah, artinya
ialah pakaian yang dibuat sebagai tenunan dari sutera dan katun yang
dicampurkan. Insyadudh-dhallah, yaitu mengumumkan sesuatu yang hilang, untuk dikembalikan kepada pemiliknya.24 "Mutsannat",
artinya bertitik dua, adakalanya: Minfawqu (di atas lalu menjadi ta') dan
adakalanya: Min tahtu (di
bawafi lalu menjadi ya'). "Mutsailatsah", artinya bertitik tiga,
sedang "Muwahhadah", artinya bertitik satu. Ini dua macam, jika di atas lalu menjadi
ba'dan jika di bawah lalu menjadi nun.25 "Muhmalah", artinya
dikosongkan, maksudnya tidak bertitik. Kebalikannya ialah "Mu'jamah,"
yaitu bertitik. "Musyaddadah,"
ertinya disyaddahkan, sedang kebalikannya ialah "Mukhaffafah,"
ertinya tidak disyaddahkan.Erti aslinya musyadadah itu di beratkan dan
mukhaffafah itu diringankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar